Senin, 28 Maret 2011
♥ Intermesso
Ibu, Permata Hatiku..
Sepulang sekolah, aku melihat banyak orang berkerumun di rumahku. Dengan hati deg-degan dan bertanya-tanya, kulangkahkan kaki menuju pintu rumah bercat biru itu. Kumelihat wajah orang-orang yang kelihatan sedih. Dan mereka menatapku dengan pandangan kosong. Di ruang tamu, kulihat bapak duduk lesu dan sedih sambil menahan air mata. Belum sempat bertanya, tiba-tiba seseorang merangkulku.
“Ve, yang sabar ya, mungkin ini cobaan dari Tuhan?” kata Rara, saudara sepupuku.
Ketika akan menjawab, dengan keadaan setengah bingung, aku melihat seseorang yang dipapah keluar dari kamar yang tak lain itu kamar ibu. Dan benar, orang yang dipapah itu ibuku. Aku langsung berlari ke arah ibu dan kerumunan orang-orang itu.
Tiba-tiba bapak datang dan berdiri di sampingku. Dengan matanya yang masih sembab, bapak menjelaskan kepadaku kalau ibu mengidap sakit stroke dan harus dirawat inap di rumah sakit. Mendengar itu, aku sangat terkejut dan tidak percaya. Tetapi melihat wajah ibu yang pucat dan tak berdaya, aku baru percaya bahwa yang dikatakan bapak benar. Tiba tiba air mataku mengalir deras membasahi pipiku. Aku pun memeluk ibu dengan erat.
“Sudah Nak, yang sabar ya? Yang penting sekarang kita bawa ibu ke rumah sakit ya? “kata bapak dengan nada lesu.
Dengan dibantu orang-orang di sekitar, kami membawa ibu ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di Rumah Sakit Harapan, bapak mendaftar dan mengurus administrasinya. Sementara itu, ibu terbaring lemah di kamar Anggrek No 6A rumah sakit tersebut. Aku mulai tak tega, ketika kulihat seorang suster menyuntikan jarum suntik ke tangan ibu. Dengan perasaan tak karuan, aku terus menggenggam tangan ibu. Suntikan pertama di tangan kanan ibu tidak cocok untuk dipasang infus, sehingga tangan ibu membengkak. Aku pun mulai bertambah tak lega, ketika ibu berteriak dan manahan sakit. Dan akhirnya, ibu dapat dirawat dengan baik di rumah sakit tersebut.
Hari berganti hari, tak kunjung ibu pulang ke rumah. Setiap hari, aku sempatkan untuk ke rumah sakit menemani ibu. Aku selalu berusaha untuk menghibur ibu agar ia mempunyai semangat baru dan mempunyai keinginan untuk sembuh. Hampir setiap malam, ibu selalu meneteskan air mata dan merintih kesakitan. Semua orang di ruangan itu panik dan kebingungan. Setelah dipanggilkan dokter, ibu mulai mendingan dan dapat beristirahat dengan tenang.
Keesokan harinya, bapak mengabarkan kepadaku dan kakakku bahwa setengah tubuh ibu tidak dapat digerakkan atau mati separo. Mendengar itu, aku sangat sedih dan tidak menyangka jika ibu separah itu. Ketika di sekolah, akupun tidak konsentrasi belajar. Aku memikirkan keadaan ibu sekarang.
“Ya Tuhan, sembuhkanlah ibu dari sakitnya?” batinku penuh harap.
Tiba-tiba…
“Ve, kamu ditanya pak guru?” kata Riesa, teman sebangkuku.
“Hah?? Ada apa Ries?” jawabku setengah bingung.
Lagi-lagi aku terkena hukuman karena tidak memperhatikan pelajaran. Aku harus maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal matematika yang amat luar biasa sulitnya. Ya… Itu hukuman bagi siswa yang tidak memperhatikan pelajaran.
Seperti biasa, malam itu aku di rumah sendiri karena bapak dan kakakku menjaga ibu di rumah sakit. Sebenarnya esok harinya, ada ulangan ekonomi, tetapi malam itu aku sama sekali tidak konsentrasi untuk belajar. Aku teringat keadaan ibu yang sedang terbaring lemah tak berdaya. Tiba-tiba, air mataku menitik. Aku membayangkan, seandainya ibu berada di sampingku sekarang, pasti aku akan semangat belajar. Aku juga teringat masa lalu akan kalakuanku terhadap ibu yang kadang membuat ia marah. Aku sering berbohong kepada ibu, sering marah-marah, dan sering malas membantu ibu. Aku mulai menyadari, bahwa ibu memang seseorang yang sangat berarti. Di waktu aku sedih, ibu selalu menghiburku. Di waktu aku kesepian, ia pasti menemaniku. Tak terasa air mataku semakin mengalir deras.
Ketika hasil ulangan ekonomiku dibagi, aku sempat tidak percaya dengan nilai yang aku dapat.
“What!! Busseett!! Ini beneran nilaiku? Gimana kalau ibu melihat nilai seperti ini?” batinku dalam hati.
Pulang sekolah, aku langsung menjenguk ibu di rumah sakit. Di sana, ibu sedang sendirian.
“Bu, ibu?? Aku pulang. Bagaimana keadaan ibu sekarang?” tanyaku.
“Ve, yang sabar ya, mungkin ini cobaan dari Tuhan?” kata Rara, saudara sepupuku.
Ketika akan menjawab, dengan keadaan setengah bingung, aku melihat seseorang yang dipapah keluar dari kamar yang tak lain itu kamar ibu. Dan benar, orang yang dipapah itu ibuku. Aku langsung berlari ke arah ibu dan kerumunan orang-orang itu.
Tiba-tiba bapak datang dan berdiri di sampingku. Dengan matanya yang masih sembab, bapak menjelaskan kepadaku kalau ibu mengidap sakit stroke dan harus dirawat inap di rumah sakit. Mendengar itu, aku sangat terkejut dan tidak percaya. Tetapi melihat wajah ibu yang pucat dan tak berdaya, aku baru percaya bahwa yang dikatakan bapak benar. Tiba tiba air mataku mengalir deras membasahi pipiku. Aku pun memeluk ibu dengan erat.
“Sudah Nak, yang sabar ya? Yang penting sekarang kita bawa ibu ke rumah sakit ya? “kata bapak dengan nada lesu.
Dengan dibantu orang-orang di sekitar, kami membawa ibu ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di Rumah Sakit Harapan, bapak mendaftar dan mengurus administrasinya. Sementara itu, ibu terbaring lemah di kamar Anggrek No 6A rumah sakit tersebut. Aku mulai tak tega, ketika kulihat seorang suster menyuntikan jarum suntik ke tangan ibu. Dengan perasaan tak karuan, aku terus menggenggam tangan ibu. Suntikan pertama di tangan kanan ibu tidak cocok untuk dipasang infus, sehingga tangan ibu membengkak. Aku pun mulai bertambah tak lega, ketika ibu berteriak dan manahan sakit. Dan akhirnya, ibu dapat dirawat dengan baik di rumah sakit tersebut.
Hari berganti hari, tak kunjung ibu pulang ke rumah. Setiap hari, aku sempatkan untuk ke rumah sakit menemani ibu. Aku selalu berusaha untuk menghibur ibu agar ia mempunyai semangat baru dan mempunyai keinginan untuk sembuh. Hampir setiap malam, ibu selalu meneteskan air mata dan merintih kesakitan. Semua orang di ruangan itu panik dan kebingungan. Setelah dipanggilkan dokter, ibu mulai mendingan dan dapat beristirahat dengan tenang.
Keesokan harinya, bapak mengabarkan kepadaku dan kakakku bahwa setengah tubuh ibu tidak dapat digerakkan atau mati separo. Mendengar itu, aku sangat sedih dan tidak menyangka jika ibu separah itu. Ketika di sekolah, akupun tidak konsentrasi belajar. Aku memikirkan keadaan ibu sekarang.
“Ya Tuhan, sembuhkanlah ibu dari sakitnya?” batinku penuh harap.
Tiba-tiba…
“Ve, kamu ditanya pak guru?” kata Riesa, teman sebangkuku.
“Hah?? Ada apa Ries?” jawabku setengah bingung.
Lagi-lagi aku terkena hukuman karena tidak memperhatikan pelajaran. Aku harus maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal matematika yang amat luar biasa sulitnya. Ya… Itu hukuman bagi siswa yang tidak memperhatikan pelajaran.
Seperti biasa, malam itu aku di rumah sendiri karena bapak dan kakakku menjaga ibu di rumah sakit. Sebenarnya esok harinya, ada ulangan ekonomi, tetapi malam itu aku sama sekali tidak konsentrasi untuk belajar. Aku teringat keadaan ibu yang sedang terbaring lemah tak berdaya. Tiba-tiba, air mataku menitik. Aku membayangkan, seandainya ibu berada di sampingku sekarang, pasti aku akan semangat belajar. Aku juga teringat masa lalu akan kalakuanku terhadap ibu yang kadang membuat ia marah. Aku sering berbohong kepada ibu, sering marah-marah, dan sering malas membantu ibu. Aku mulai menyadari, bahwa ibu memang seseorang yang sangat berarti. Di waktu aku sedih, ibu selalu menghiburku. Di waktu aku kesepian, ia pasti menemaniku. Tak terasa air mataku semakin mengalir deras.
Ketika hasil ulangan ekonomiku dibagi, aku sempat tidak percaya dengan nilai yang aku dapat.
“What!! Busseett!! Ini beneran nilaiku? Gimana kalau ibu melihat nilai seperti ini?” batinku dalam hati.
Pulang sekolah, aku langsung menjenguk ibu di rumah sakit. Di sana, ibu sedang sendirian.
“Bu, ibu?? Aku pulang. Bagaimana keadaan ibu sekarang?” tanyaku.
Ibu tidak menjawab pertanyaanku, tetapi ia hanya membalas senyum padaku. Semenjak sakit, ibu sulit untuk bicara. Tak lama kemudian, ibu tertidur. Aku memandanginya dengan rasa iba. Tiba-tiba, aku teringat akan nilaiku yang semakin menurun.
“Aku harus memperbaiki nilai-nilaiku! Aku harus bisa membuat ibu bangga padaku. Ya...mulai sekarang, aku harus rajin belajar. Semangat Veca!!” kataku dengan penuh semangat.
Selain aku memikirkan kondisi ibu, aku juga memikirkan keadaan bapak. Semenjak ibu sakit, bapak yang harus membanting tulang sendiri untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan keluarga. Tak hanya membiayai biaya rumah sakit, tetapi juga harus membiayai sekolahku dan kuliah kakakku. Aku merasa kasihan, karena pasti banyak yang dipikirkan bapak. Kadang aku ingin mencari uang sendiri untuk mambantu bapak. Tapi, pekerjaan apa untukku? Aku sering melihat bapak menangis, padahal sebelumnya aku belum pernah melihat ia seperti itu.
Sudah dua minggu, ibu dirawat di rumah sakit. Perkembangannya sudah mulai membaik, walaupun belum optimal. Tetapi dokter menyarankan sudah dapat pulang, asalkan tetap menjalankan chek-up.
Ketika sampai di rumah, banyak tetangga-tetanggaku yang menjenguk ibu. Mereka senang karena ibu sudah diperbolehkan pulang. Setiap hari, aku pun merawat ibu dengan tulus dan sabar. Aku sudah tidak peduli dengan keadaanku sendiri. Walaupun aku lelah, aku selalu berusaha semangat di depan ibu. Hal itu, aku lakukan agar ibu dapat selalu tersenyum. Sampai detik ini, ibu belum sembuh dari sakitnya. Tetapi, aku selalu berdoa, berdoa dan berdoa agar Tuhan menyembuhkan ibu yang sangat aku sayangi. Bapak juga selalu menasehatiku agar aku dapat tegar menghadapi cobaan ini. Ini memang dianggap sebagai cobaan yang membawa hikmah dan menyadarkanku bahwa sosok ibu adalah seseorang yang sangat berarti untuk hidup kita.
“Aku harus memperbaiki nilai-nilaiku! Aku harus bisa membuat ibu bangga padaku. Ya...mulai sekarang, aku harus rajin belajar. Semangat Veca!!” kataku dengan penuh semangat.
Selain aku memikirkan kondisi ibu, aku juga memikirkan keadaan bapak. Semenjak ibu sakit, bapak yang harus membanting tulang sendiri untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan keluarga. Tak hanya membiayai biaya rumah sakit, tetapi juga harus membiayai sekolahku dan kuliah kakakku. Aku merasa kasihan, karena pasti banyak yang dipikirkan bapak. Kadang aku ingin mencari uang sendiri untuk mambantu bapak. Tapi, pekerjaan apa untukku? Aku sering melihat bapak menangis, padahal sebelumnya aku belum pernah melihat ia seperti itu.
Sudah dua minggu, ibu dirawat di rumah sakit. Perkembangannya sudah mulai membaik, walaupun belum optimal. Tetapi dokter menyarankan sudah dapat pulang, asalkan tetap menjalankan chek-up.
Ketika sampai di rumah, banyak tetangga-tetanggaku yang menjenguk ibu. Mereka senang karena ibu sudah diperbolehkan pulang. Setiap hari, aku pun merawat ibu dengan tulus dan sabar. Aku sudah tidak peduli dengan keadaanku sendiri. Walaupun aku lelah, aku selalu berusaha semangat di depan ibu. Hal itu, aku lakukan agar ibu dapat selalu tersenyum. Sampai detik ini, ibu belum sembuh dari sakitnya. Tetapi, aku selalu berdoa, berdoa dan berdoa agar Tuhan menyembuhkan ibu yang sangat aku sayangi. Bapak juga selalu menasehatiku agar aku dapat tegar menghadapi cobaan ini. Ini memang dianggap sebagai cobaan yang membawa hikmah dan menyadarkanku bahwa sosok ibu adalah seseorang yang sangat berarti untuk hidup kita.
Label: Cerpen-ku
02.00